Sejak umur bertambah, tanpa hadirnya bapak di ruang tengah keluarga.
Ada yang bisa menggantikan figur seorang bapak di mata ibu.
Yaitu kami berdua yang tidak lain adalah anak laki-laki beliau.
Setidaknya saya paham mengapa terkadang masih juga dilarang pulang malam oleh beliau,
atau kenapa ibu kadang-kadang masih bertanya : kemana mas-mu?
Karena beliau sendirian di rumah.
Si Mas (kakak) pergi pagi pulang malam.
Sementara saya baru kuliah semester satu, jadi seyogyanya tidak perlu pulang malam-malam.
Suatu malam tidak sengaja kami bertiga bisa-bisanya berada di ruang keluarga.
Kami tidak sibuk dengan internet ataupun blackberry.
Kami sibuk bercerita satu sama lain.
Inilah yang sudah lama tidak saya rasakan.
Dengan berkumpul di ruang keluarga,
saya perlahan mengamati bahwa ibu masih berat kalau-kalau kedua anak laki-lakinya harus bekerja dan jarang pulang ke rumah.
Tapi sebagai orangtua, beliau juga ingin kedua anaknya sukses.
Setiap berdiskusi dengan ibu,
Saya selalu menangkap kesan : mas-mu sudah pekerja lapangan, masak kamu mau kerja lapangan juga 'yo?
Yah ibu.. seandainya saya terlahir sebagai individu yang betah mager berjam-jam di belakang meja.
Sayangnya saya tidak terlahir seperti itu.
Bahkan ibu atau bapak juga sama saja.
Sama-sama bukan tipikal yang bisa diam.
Bu, aku belum cukup berbakti kepadamu..
Kadang aku pernah mendengar harapan ibu kepadaku,
Aku wujudkan harapan ibu, karena harapan ibu sesuai dengan harapanku.
Ingatkan aku untuk mengajak jalan-jalan ibu ke Benua Biru ya esok.
Bramantyo,
Jakarta, 1 Februari 2010
Mengawali Psycholoonycal Journet Part II
Ehem.. ada entri baru nih dari Luigi Pralangga and His Peacekeeping Journey Continues
dibaca ya.. dikomen ya..
prok prok jadi apa prok prok prok
Selasa, 01 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar