Senin, 05 April 2010

Perpisahan dan Kematian [Separation and Death]

Sudah berminggu-minggu ini saya merenungi apa yang ditulis oleh Dewi Lestari mengenai Perpisahan (Separation) dan Kematian (Death). Catatannya yang ditulis tanpa judul itu merefleksikan sebuah logika dan perasaan pribadinya yang sangat berbeda dengan pandangan umum orang. Saya tidak habisnya terkagum-kagum dengan tulisannya itu. Pertama, mengenai persepsinya bahwa suatu relationship itu memiliki nilai kadaluwarsanya (expiry) sendiri; sama seperti tubuh manusia yang lambat laun akan mengalami masa tua atau masa meninggalkan nyawa. Kedua, mengenai analogi ikhlas untuk berpisah atau menghadapi kematian yang ia gambarkan dengan kepasrahan seekor binatang yang diterkam binatang liar karena tak mampu berbuat apa-apa lagi dengan takdir yang sudah menjemputnya.

Jika sebuah relationship memang memiliki nilai kadaluwarsa (expiry), maka ia seperti sebuah organisme hidup yang dimana sel-sel yang ada di dalamnya selalu berusaha keras dan tanpa henti mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Jika sudah berusaha tapi masih juga tidak berhasil barangkali memang relationship itu sudah waktunya untuk mati. Sama seperti tubuh kita, jika kita menua dan sakit berarti kita sudah mendekati masa kadaluwarsa kita. Sebagian lagi pada kasus yang lain ada diantara mereka yang mati muda dan tanpa sebab yang jelas dan ini adalah rahasia Illahi yang tidak pernah kita ketahui.

Semua orang pernah mengalami perpisahan dengan orang-orang yang mereka cintai, baik itu putus cinta, perceraian, maupun ditinggal oleh orangtua sejak kecil. Dan dari semua jenis perpisahan ini memberikan dampak tersendiri bagi setiap orang yang mengalaminya. Melalui pengalaman ini kita cenderung selalu berusaha untuk mengisi ‘kekosongan’ di hati kita yang disebabkan oleh perpisahan tersebut. Kita berpikir, bertindak, dan merasa sesuai dengan pengalaman yang pernah kita lalui. Semua dilakukan berdasarkan kesadaran kita bahwa hidup haruslah terus berjalan dan yakin akan kehidupan yang baik akan segera datang menjemput kita.

Tapi apalah arti hidup jika kita selalu takut dengan perpisahan dan kematian? “No one gets out alive!” Suka atau tidak, kita akan menemui masa-masa perpisahan dengan anggota keluarga kita, kekasih kita, teman-teman dan sahabat kita, atau mungkin sekedar dengan barang yang sangat kita cintai. Ini hanya masalah waktu, dan terkadang kita cenderung tidak mau memikirkan perpisahan dan kematian ini. Dewi bilang ini adalah sifat naluriah manusia yang takut dengan dua hal tersebut. Semakin kuat kita melawan takdir alam ini, semakin menderita perpisahan atau kematian yang kita hadapi. Sama seperti seekor rusa yang diterkam oleh singa-singa yang kelaparan. Setelah rusa itu berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi kita ia tertangkap dan tak bisa lari, hal yang terbaik yang ia lakukan hanya pasrah bahwa nyawa dan tubuhnya akan segera sirna.

Jika ada rasa takut dalam menghadapi perpisahan dan kematian, maka aku berpikir bahwa bertahan hidup dan kemampuan beradaptasi dengan keduanya juga merupakan kemampuan manusia yang secara naluriah bisa dimiliki oleh kita semua. Kemampuan ini tidak datang begitu saja dari langit tapi mesti kita dapatkan melalui pengalaman dan perenungan yang mendalam dari setiap moment suka dan duka kita.

Imam Ali k.w berkata dalam salah satu ceramahnya di kitab “Bulughal Maram”; “…manusia yang takut dengan kematian (bermakna perpisahan juga) adalah manusia yang teralienasikan dengan dirinya sendiri.” Jadi, untuk bisa mengatasi naluri takut dengan perpisahan dan kematian ialah dengan jalan mengenali dirinya sendiri melalui proses hidup yang serba kompleks dan unik. Yang paling berkaitan erat dengan proses ini adalah prses dalam meraih cinta yang diinginkan.

Cinta yang tulus bukan cinta seseorang yang selalu ingin dicintai, tapi mereka yang selalu ingin mencintai orang lain. Erich Fromm menawarkan metode “mencintai” (to love) sebagai lawan dari “dicintai” (to be loved). Menurutnya, hanya melalui mencintai ini lah manusia-manusia akan terbebaskan dari penderitaan karena misi untuk mendapatkan cintanya. Perpisahan dan Kematian akan memberikan derita selama kita ingin selalu dicintai oleh pasangan dan orang lain. Karena kebahagiaan kita masih tergantung pada keberadaan mereka sebagai objek yang hidup (living-object). Maka besar kemungkinan hasil yang sebaliknya bisa terjadi selama proses mencintai dilakukan dengan ketulusan hati dan ketiadaan ekspektasi.

Sedih dan berduka karena perpisahan dan kematian bukan indikator penderitaan dari sebuah kejadian alam, tapi sebuah respons naluriah makhluk Illahi yang memiliki batin dan hati nurani. Sama seperti ketika kita merasakan perasaan senang dan ceria, kedua-duanya adalah sayap manusia untuk bisa terbang lebih tinggi dari daratan dimana sekarang kita berdiri. Jika kita hanya terbang dengan salah satu sayap ini, niscaya kita tidak akan pernah bisa beranjak dari tempat dimana kita berada sekarang (mengalami stagnasi hidup).

Mari kita lupakan sakit hati dan dendam kita pada orang-orang yang telah menyakiti kita baik itu disengaja ataupun tidak disengaja. Kita bisa mencintai orang lain dengan mencintai diri kita sendiri terlebih dahulu. Selalu ada kesempatan untuk memberikan senyum dan pelukan pada orang yang kita sayangi dan masih hidup. Dan selalu ada kesempatan untuk menuangkan seluruh perasaan kita ke dalam sebuah surat dan diakhiri dengan kata memaafkan (forgiving) untuk dikirim kepadanya atau diletakkan di atas batu nisan jika orang yang kita maksudkan telah meninggalkan kita. Dengan ini, kita telah “berpasrah” pada takdir perpisahan dan kematian.

1 komentar:

  1. mari berdamai dengan perpisahan, baca juga tipsnya disini https://sampaikapan.com/cara-sehat-mengatasi-perpisahan/

    BalasHapus