Ms. Tasha Caroline-apabila anda mengira saya gaul. Anda salah besar! Buktinya ada cult festival kayak begini aja gua kurang tahu. Cult-apaan tuh? Naah..makanya, kerjaan lu jangan Cuma nulis ..haLL0w; w..; n4k m@Na?;-yeah.. Something in conjunction with those stuff. Hahaha, bukan, bukan, that wasn’t obviously my job! Emang sumber informasi juga ala kadarnya, ditambah idealisme tingkat tinggi bikin awareness gua tentang hal beginian amatlah minim.
Cult-i don’t know precisely istilah ini disadur dari kata dari bahasa mana. Dalam pemahaman gua biasanya sih sesuatu hal disebut cult karena butuh intelijensia tingkat tinggi, idealismenya tinggi gitu. Lu mesti memahami perspektif berpikir oknum-oknum penciptanya. Kalau masuk ke dunia ini, minimal mesti manggut-manggut ngerti. Kalau gak, bisa-bisa berujung dengan mobilisasi massa berlandaskan penistaan agama-lho? Hal ini berkorelasi dengan keadaan intelijensia masyarakat Indonesia yang masih eforia sama namanya pop culture. Gak perlu gua jelaskan sepertinya pop culture kayak apa yang lagi berkembang di tengah masyarakat toh? Bisa dengan mudah lu temukan dimanapun lu berada selama lu di teritori NKRI.
Kebetulan pula filmnya Ketty-salah satu teman blog saya dapet jatah pemutaran disini. Gua juga gak enak, udah di-invite sekian kali sampe dia pegel promosi (sori ya ket, Mi, Dith..temen lu yang ngasih free pass ke hutan Brawijaya ini fokus dulu ke UAN dan perintilannya.. hehehe..) dan akhirnya gua bisa juga menghadiri screening film pendek mereka.
Perjalanan ke daerah Jakarta Pusat. Gua agak kurang bernapsu, walaupun gua sangat menikmati menjadi pedestrian dari Jl. Cikini raya-Jl. Cut Meutia-persimpangan ribet Jl. Teuku Umar-Jl. GSSJ Ratulangi aka Sam Ratulangi. Wah, enak banget jalan kaki disini (apa dasarnya gua kebiasa jalan kaki, padahal jauh juga lho. Kayak dari rumah gua di North UK ke Matraman..)! Walaupun saat menumpang bus Kopaja dan melintas di wisma TNI AL saya di-scan oleh bapak prajurit TNI-disangkanya saya intelijen TNI mungkin. Apa mungkin muke gua termasuk buronan Provoost (hehehe..jadi inget Provoost TNI AU pas mau SIMAK UI)?? Atau gua calon potensial yang bisa dididik menjadi militan? Who nose, nobody nose, heaven nose..
Baiklah, untung sih gua gak nyasar. Karena asas Bramantyo Adi soal jalan di ibukota adalah : SEMUA JALAN PASTI TERHUBUNG SATU SAMA LAIN. Gak kayak kakak gua, ya ampun.. lu lepas di deket sekolah gua aja bisa nguber-nguber polisi suruh nge-guide jalan. Untung venue-nya gak terlalu ribet, Goethe Institute.
Sesampainya di Goethe, nungguin Ketty cs dulu baru masuk ke theatre-nya. Film berjudul “Love Then Leave” digabung sama film-film pendek dan menghasilkan sebuah judul baru yaitu “Short and Young”. Disini gua amaze banget sama kehandalan remaja-remaja diluar ibukota, mereka ternyata mampu menyamai laju bahkan bisa stepforward kaum remaja urban Jakarta. Film-film garapan mereka menarik, easy to watch, tapi punya esensi juga. Ada film yang mengena di gua-ceritanya ada anak yang dilarang ini itu sama nyokapnya, setelah anaknya bisa berargumen-nyokapnya agak bisa menerima hal itu.
Hal itu juga gua alami, bedanya kekolotan kedua ortu gua terletak pada vision mereka dalam membesarkan kakak dan gua secara terpisah. Berhubung kakak gua udah ‘mateng’-dilimpahkan semua yang tidak kakak gua kerjakan ke gua. Das! Ok, hal ini akan gua tulis di post lain.
Walaupun Cuma nonton satu judul film, tapi gua puas banget! Bisa dapet banyak perspektif berpikir baru, dan visualisasi keadaan sosial masyarakat Indonesia lumayan komprehensif. Oh ya, di film ‘Baju Terakhir Untuk Kakek’-salah satu setnya mengingatkan rumah ortu (penduduk lokal tempat nginep 4 hari disana) gua di desa Perumasan. Persis, sepersis-persisnya, gua masih inget banget gimana bentuk, rancang bangun bahkan lanskap rumah itu!
Selain itu ada pameran foto. Nah, pameran foto ini gak tega gua liat.. Takut konak.. hahahaha...! Namanya juga tiap hari udah demek ngeliat batangan konak tengah pelajaran, ngeliat yang seger-seger merekah aduhai semlohay.. birahi langsung berbicara! Disini gua juga sempet ketemu sama aktivis bidang Wanita dari Malaysia. Gile, di negara se-wealth Malaysia aja masih ada masalah soal wanita. Nama beliau kalau gak salah Mrs. Noorhayati. Beliau bilang benang merah masalah wanita di negeri Malaysia adalah : wanita disana masih jadi objek. Buset! Parah bener.. Beruntung wanita Indonesia memiliki Bu Martini (eh..itu guru sejarah waktu gua SMP kali! Salah woy!) maksudnya Bu Kartini.
Oh ya..pesan moral saat gua melihat beberapa foto disana dan kemudian cabut balik : gak mau birahi binal saya berbicara.. hahaha!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar