Psycholoonycal Journey, Jakarta (16/11) – Eik bingung, segitu rempongkah kuliah di psikologi? Tidak sedikit teman-teman prodi lain berdecak kagum dengan kesibukan anak-anak psikologi. Heeey, tolong dilihat teman-temen DKV, DPI, Manajemen. Gua ngeliat itung-itungan mereka bawaannya sudah huek-huek-cuih-cuih-Thank God I’m student of Psychology.
Tugas-tugas yang gua dapat disini dari awal berlangsung perkuliahan bentuknya kadang wawancara (seperti tugas Antropologi, UTS Penulisan Ilmiah), kadang bikin makalah, paper, sampai presentasi yang lama-kelamaan jadi main course kalau kuliah di psikologi. Tentunya ada insentif baik, salah satunya menjadi akrab dengan buku bergenre KAMUS. You named it! Mau KBBI, Inggris-Indonesia dan pada taraf ekstrem (entah ekstrem apa dasarnya gua sudah mendeklarasikan “Psychology turns me into zombie, but it will drives me to the military”) gua suka iseng baca kamus filsafat dan psikologi.
Kenapa jadi akrab dengan kamus? Mengingat hare geneee status bukan lagi anak SMA yang bebas berbicara. Namun sudah berevolusi (evolusi dalam pandangan sosiologi adalah perubahan yang berjalan lambat namun mendasar dalam hidup manusia) jadi mahasiswa yang memaknai kebebasan bukan sebagai kebebasan yang terserah gua melainkan kebebasan yang bertanggung jawab plus bersifat faktual. Pasca berkuliah di psikologi, you can say anything but please.. based on fact. Kalau kata Ms. Reni (wali kelas di SMA) : don’t be ngawur.. ha ha ha.. Susah kan? Well, semoga hal ini gak Cuma di prodi psikologi-tapi di prodi lainnya.
Makenye gua sama anak-anak belakangan ini kalau ngomong bener-bener dijaga (bukan masalah bakal keceplosan ngomong anjing!)-melainkan menjaga arti harafiah, substansi sebetulnya dari suatu kata.
Ya..begitulah kehidupan saya selama sebulan lebih dikit di psikologi Paramadina. Sekarang lagi merampungkan tugas mata kuliah Psikologi Umum di bab IV mengenai hubungan otak dan perilaku manusia. Ada satu bahasan mengenai plastisitas otak, kemudian mahasiswa/i yang ikut kuliah ini dibagi-bagi jadi kelompok beranggotakan empat-lima orang. Sejurus kemudian dosen memberi per kelompok satu bab sebuah buku mengenai plastisitas otak. Weits.. ada challenge lagi, satu bab ini disajikan dalam Bahasa Inggris, dan tugas kita adalah menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti (jadi bukan masalah Cuma terjemahin ke Bahasa Indonesia tapi Bahasa Indonesia yang dipahami oleh otak anak-anak sekelas!), dirangkum jadi sepuluh halaman sebelum akhirnya Setelah baca sekitar tiga sampai lima halaman.. menarik juga ya!! Gua aja baru tau fenomena kayak begini.
Kelompok dimana gua bergabung dapat bab ketujuh mengenai sistematika bergantinya fungsi syaraf otak pasca hilangnya (diamputasi karena kecelakaan) salah satu organ tubuh. Karena ditemukan sebuah fenomena unik, saat dilakukan eksperimen terhadap seseorang yang kehilangan anggota tubuh. Misalnya orang tersebut dikasih handuk hangat di pipi-nya, selain rasa hangat muncul di pipi (sebagai respon langsung), rasa serupa juga muncul di bagian tubuh yang hilang/diamputasi.
Nah lho.. Kemudian peneliti (disini penelitinya seorang Neurolog) mulai meningkatkan eksperimennya. Kliennya disuruh scanning otak, ternyata disitu ditemukan saraf-saraf bekas bagian tubuh yang diamputasi ganti fungsi. Nah lhoo.. bingung kan? Gua juga bingung.. bagaimana kelanjutannya?? Entar yee, akika baca dulu sampe abis.
Bramantyo Adi
Mahasiswa Prodi Psikologi Paramadina
Future Military Psychologist who serving for UN Peacekeeper
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar