Sabtu, 18 Desember 2010

Bahasa dan Psikologi

Mempelajari tingkah laku manusia, faktor-faktor yang memicu individu bertingkah-laku, dan peran fisik yang berkaitan dengan perilaku manusia. Ada satu hal unik yang gua amati selama belajar psikologi dari bulan September yaitu bahasa.

Diawali dengan mata kuliah Penulisan Ilmiah yang sukses membuat satu kelas bahkan anak-anak fellowship (penerima beasiswa penuh dari kampus) yang notabene otaknya encer bukan kepalang dibanding calon psikolog militer satu ini (yang kadang suka lupa ganti sekring dari sekring bego ke sekring pinter) mengalami stress bukan kepalang. Tugas pertama yang gak ada apa-apanya dibanding dengan tugas-tugas pasca UTS berhasil memaksa saya untuk kembali membaca buku EYD. Ya, Ejaan Yang Disempurnakan. Might you’ll asking : aih.. buat apa masbro?? Kalau soal bahasa-bahasa yang baku tinggal nyontek laporan, atau apalah.. gak perlu rempong-rempong mendalami tata bahasa.

Eits.. jangan salah.. ketatabahasaan penting lhoo juragan. Kadang gua sendiri berasa menderita disleksia karena saking memperhatikan klausa yang meluncur indah dari bagian lobus frontalis ke lidah terus ditangkep lawan bicara. Padahal kalau mengacu pada tes kemampuan intelijensia alias tes-ai-kyuwh, skor gua berada di tingkat sangat cerdas. That’s proofed, IQ test isn’t always precisely represent who you’re.

Kembaliii ke penulisan ilmiah. Tugas pertama di matkul ini hanya menceritakan kembali film terbaru yang lu tonton. Waktu itu gua pakai film Resident Evil : Afterlife. Walaupun koherensi antar kalimat dan paragraf gak ada masalah (karena dikit-dikit pakai pakem yang ada di skrip film), tapi.. penggunaan kata acakadutplerkadut, poin gua dikurangin cukup banyak disitu. Mau kumplen ke dosen, dosen berkata layaknya akun twitter @ketuajamaah : perhatikan buku EYD-nyaaa!

Kelelawar! (KAMPRET!)

Ya, bahasa. Wajar dosen PI killer urusan tata bahasa. Maksud beliau baik, sebagai ilmuwan/profesi/peneliti psikologi masa depan kami mahasiswa/i dibiasakan berbahasa (bahasa apapun, bahasa prokem sekalipun) dengan baik dan benar. Mengingat esok kami (kami?-dosen PI) (oke bu.. maaf, saya-gua) menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian informasi mengenai psikologi. Bisa-bisa salah kata dalam proses terapi atau diagnosa, bakal beda artinya, bakal beda pula diserapnya oleh target komunikan atau lawan bicara (kalau di psikologi klien ya nyebutnya) lalu akan menimbulkan hasil yang beda pula.

For the sake’s of avoiding those failure.. sedari dini gua diajari (kalau males disebut digembleng) untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ditambah lagi ada materi baru tentang hipnosis yang menggunakan bahasa untuk memberi sugesti. I have to make sure there’s no language failure when tomorrow I give some hypnotherapy. Dari bulan September sampai Desember, sekarang kalau mau ngemeng.. bisa milih, mau ngomong yang baku apa yang berantakan. Sekalipun berantakan, udah gak berantakan banget sih..

Tapi jadi kocak ketika mulai ngeblog lagi setelah sekian hari mager depan laptop buat mengidentifikasi diri dengan teori-teori cap Freud, Bandura, Jung, Anne Freud, W.B. Titchener, Pavlov.

Blank juragan.. blank se-blank-blanknya. Gua berasa jadi Jason Bourne di dunia tata bahasa. I can’t remember precisely what was happened to me untill I found myself here at this post. Ide udah blingsatan pengen diterjemahkan ke format tertulis dan bisa dibaca umat manusia.

..mengakhiri post ini..I realized one thing, psychology is related with persuasion. Which mean, language plays a big role on it. Watch each word, phrase, clause stream down from your mouth through your respondent.

Karena Engkong Lao Tze-pun ikut berpesan pentingnya bahasa :

Watch your thoughts; they become words.
Watch your words; they become actions.
Watch your actions; they become habits.
Watch your habits; they become character.
Watch your character; it becomes your destiny.",


Biarin deh gak nyambung, yang penting ada unsur ‘kata’-nya. Baiklah, saya akan kembali fokus kepada assignment essay “Relevansi Ilmu Filsafat terhadap Ilmu Psikologi” dan assignment argumentasi Homoseksual apakah genetis atau lingkungan?

Bramantyo Adi. He wants to serve as military psychologist.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar